Selasa, November 04, 2008

Mengenai Prioritas

Kembali mengenai prioritas. Setiap orang hidup dengan banyak pilihan dan kesempatan, tapi untungnya manusia punya keterbatasan sehingga dia tidak harus menjadi tamak untuk menggenggam semua kesempatan yang ditawarkan padanya. Dengan keterbatasannya (waktu, fisik, pikiran) dia jadi harus mau berbagi dengan orang lain untuk kesempatan baik itu. Lalu, karena dia harus memilih, hendaknya setiap orang punya PRIORITAS.

Prioritas ini disusun berdasarkan visi, misi, dan prinsip seseorang. Kadang, prioritas yang dipilih satu orang akan dianggap 'aneh' oleh orang lain, itu tidak masalah. Karena yang mengerti Strength, Weakness, Oppotunity dan Target nya tentunya adalah yang bersangkutan.

Contoh kasus begini. Ada sorang wanita yang sedang dalam puncak karirnya, dan saat itu dia diberi anugerah kehamilan. Karena sudah lama dia menunggu promosi jabatan itu, akhirnya dia menomerduakan kehamilannya, dan mengutamakan (memprioritaskan) karirnya. Salahkah wanita itu? Bagaimana menurut Anda?

Menurut saya, tidak ada yang salah dalam menempatkan prioritas, asalkan dia punya alasan kuat ketika menjalani pilihannya, dan mengerti semua konsekuensi logis yang terbit dari pilihannya. Pandangan ketidaksetujuan dari pihak lain itu pastinya terbit dari hasil pemikiran berlandaskan budaya, sosial, dan etis yang berlaku di masyarakat. Katakanlah, ketika wanita memilih karir daripada anak di Amerika tentu lebih mudah dimengerti dibandingkan di Indonesia. Atau, di Jakarta dibanding di Jogja. Nah, lalu kembali kepada 'ketahanan diri' wanita yang menentukan pilihan itu, ketika menghadapi 'cercaan' atau komentar orang. Kalau dia stand firm pada ketetapan hatinya, dan punya pertimbangan yang terbaik untuk prioritasnya, ya baguslah.

Lalu jika ditarik ke diri saya sendiri, saat ini prioritas saya adalah menjadi ibu dibandingkan wanita karir (wanita bekerja). Beberapa teman ada yang bilang 'sayang kesempatannya' lalu 'kerja dan anak bisa sejalan kok'. Trimakasih atas perhatian dan sarannya, tapi bagi saya prioritas saya adalah menjadi seorang ibu dulu, dan itu tidak bisa disambi dengan bekerja. Nanti ketika berjalan, pasti akan banyak pandangan, omongan, komentar dari orang lain. Nikmati sajalah, betul bukan? Karena kita yang menjalani pilihan atas prioritas kita, dan orang lain adalah penggembira.

Selamat menikmati prioritasmu!

Senin, November 03, 2008

Aku Hanya Ingin Bilang Cinta Padamu

Aku menutup mata untuk terakhir kalinya, saat kurasakan sakit ini menggigit di sekujur tubuhku. Dan untuk segala sisa tenaga yang kupunya, aku bisikkan 'aku cinta padamu, dari dulu'. Dan sayangnya, pemandangan terakhir yang kulihat adalah mata yang terbelalak cemas menahan tangis dan mulutmu yang ternganga meneriakkan namaku...
***

Bulan ini bulan dua, di tahun dua ribu satu. Aku bukan teman barumu, karena kita bertemu di sekolah lanjutan atas. Ya, aku bukan temanmu, aku muridmu. Saat itu usiaku baru enambelas, dan kamu memperkenalkan diri sebagai guru Kimia. Aku buang muka, aku benci Kimia. Aku sudah bertekad untuk masuk IPS kelas tiga nanti. Lalu kamu mengabsen seisi kelas, untuk berkenalan. Saat sampai di namaku, alismu bertaut.
"Ratri?" aku mengangkat tangan tapi mataku ke arah luar. Bisik-bisik dan suara menahan tawa terbit di seisi kelas. Sudah kuduga.
"Saya lahir sore hari. Belakangnya Putra Wibawa kan? Maksudnya seorang lelaki berwibawa yang lahir sore hari," jelasku panjang dengan nada dingin. Senyum manis tersungging di bibirmu.
"Nama yang sangat bagus. Nama saya juga mengingkari kecantikan saya: Yoga Sentani," semua tergelak, melupakan betapa femininnya namaku. Walau aku tahu itu bodoh, aku berterimakasih padamu karena membuat posisi kita sama. Dan aku tidak mati malu menyandang namaku untuk tiga tahun ke depan.

"Putra, saya mau bicara. Ini tentang nilai ulanganmu,"
Aku mengangkat kepala dari buku komik yang kubaca, lalu berjalan mengikutimu ke meja guru. Kalau hasilnya buruk, aku sudah punya alasan untuk itu. Dan aku tidak malu dengan nilai jelekku.
"Hasilnya..," kamu membetulkan kacamata bingkai setengah yang bertengger di hidung mancungmu (heit, dari kapan aku tahu hidungmu mancung?).
"..maaf Bu, saya nggak sempat belaja..,"
"..tertinggi di kelas," potongmu. Lalu menyeringai lebar.
"Padahal saya kira kamu tidak tertarik dengan Kimia. Kamu jarang memperhatikan dan yah..terkesan acuh setiap saya mengajar," senyummu maklum. Aku tidak melihat adanya sakit hati di sana karena kamu kuacuhkan.
"Ya..selama ini saya pikir saya juga nggak tertarik Kimia," jawabku asal. Kamu kembali tersenyum. Aku baru sadar, betapa kamu ini sering sekali tersenyum. Dan senyummu itu unik. Saat ujung kananmu terangkat, akan ada lesung kecil terbit di pipi kananmu, lalu ujung kiri akan menyusul, dan matamu menyipit ramah.
"Jadi, sekarang, dengan nilai tinggimu sementara kamu tidak belajar, bolehkan saya minta tolong?" lanjutmu. Aku menggigit pipi dalamku.
"Apaan, Bu?"
"Hmm..wakili kelasmu jadi duta olimpiade Kimia tingkat propinsi," ujarmu santai. Mataku membulat.
"What?? Bukan berarti karena sekali ulangan saya nilainya tinggi, saya trus jadi jago Kimia dong Bu," protesku. Setengahnya karena tidak percaya diri juga. Kamu lagi-lagi menyeringai. Kali ini beda dengan senyuman. Kamu akan membuka mulutmu membentuk setengah bulan, dan gigi putihmu itu terpacak sempurna di sana. Dua lesung pipit itu menyempurnakan wajah bayi mu.
"Jelas tidak, Putra. Tapi kita punya waktu dua bulan untuk pemahaman intensif Kimia, sebelum nanti babak pertama olimpiade. Setelah dua bulan kita akan tahu, kamu siap atau tidak,"
"Tapi jangan cuma saya," potongku cepat.
"Hmm..kita akan ambil beberapa anak yang nilainya baik dan berminat dengan kimia juga. Di sana nanti kita adakan pembelajaran Kimia yang asyik bersama-sama," kamu tersenyum, nampak puas telah bisa membuatku tidak menolak.
Baiklah, aku memang bukan anak baik. Tapi aku juga bukan anak tidak sopan yang menolak permintaan guru, apalagi demi sekolah. Kakakku yang wakil ketua OSIS pasti bisa membuatku di ospek berkali-kali kalau itu terjadi.
Aku membenarkan poniku yang jatuh menutupi dahi.
"Kita lihat nanti, Bu," jawabku sok menggantung.
"Kita mulai lusa, jam tiga sepulang sekolah," ujarmu akhirnya tanpa memperdulikan setengah keenggananku.

Dan, sial. Ternyata aku memang jadi menyukai Kimia. Ralat, mencintai. Dan itu karena kamu. Aku memang tidak bodoh, tapi selama ini aku tidak menggunakan imajinasi dan alur pikir untuk merasionalisasi rumus Kimia yang menyebalkan. Aku hanya menghafalkan, dan kamu dengan sukses membuatku merangkai cerita dari rumus-rumus yang membuat kepala sakit. Satu bulan bersama di kelas intensif persiapan olimpiade ini, juga membuatku bertambah akrab dengan teman-teman kelas lain. Aku memang cuek, tidak merasa mereka penting pada awalnya. Tapi kehangatan yang ditawarkan Ina, Budi, Rayi, Mulia membuatku betah dan tidak merasa sebagai rival. Kami adalah kelompok belajar Kimia. Berkat mereka, aku sekarang memotong rapi rambutku, memasukkan baju seragamku dan memakai sepatu dengan benar -tidak menginjak bagian belakangnya lagi.
Siang ini, beberapa kali aku menangkap basah dirimu sedang mengamatiku lekat dan tersenyum sendiri. Dan anehnya, aku jadi berdebar-debar, dan malahan aku yang salah tingkah.

"Putra, kamu sudah belajar tentang oksidasi? Ajari aku sebentar dong," pinta Rayi siang itu, sebelum tes seleksi Kimia diadakan. Sudah tepat dua bulan, dan hari ini dari antara kami akan dipilih dua orang sebagai wakil. Sesaat kami diskusi, Rayi manggut-manggut mengerti.
"Yak, semua duduk di bangkunya sendiri-sendiri, selang seling satu," suara bass pak Joko memberi komando. Sesaat aku terdiam, sebelum beranjak ke kursiku. Di mana kamu?
Sampai akhir tes, batang hidung mancungmu belum nampak. Aku jadi merasa sepi, sedikit.
"Bu Sentani ke mana?" tanyaku akhirnya pada Mulia. Dia mengangkat bahu.
"Put, Mul, setelah ini kita ke rumah sakit ya," ujar Ina dari bangku depan. Rayi dan Budi mendekat.
"Ada apa, Na?" tanya mereka bersamaan.
"Bu Sentani operasi angkat kandungan. Tumor rahimnya stadium lanjut....," terangnya. Atau setidaknya hanya itu yang bisa kutangkap karena aku sudah kehilangan pikiranku.

"Untung masih hidup," Mulia mengelap keringat di dahinya. Teman-teman lain yang datang kemudian di lorong rumah sakit mengerutkan alis.
"Kenapa?" Rayi bertanya.
"Itu," Mulia menunjukku dengan dagu, "Ngebut kayak kesetanan. Panik banget sepertinya,"
Aku diam saja, mendengar pembicaraan mereka sayup-sayup. Permenku kugigit kuat-kuat. Dorongan kuat untuk menghisap rokok yang sudah kuhentikan sejak dua bulan ini mendadak timbul lagi seiring rasa kuatirku yang membuncah. Tapi aku ingat, kamu tidak suka asap rokok.
"Ayo ke bangsal," ajakku dingin pada mereka. Sedingin telapak tanganku yang mengkuatirkanmu.

"Jangan diajak bicara ya, kondisinya masih lemah," ujar Suster yang menjaga ruang perawatan intensif itu. Kami masuk bergantian, itupun hanya lima menit perorang. Aku harus berganti sandal dan memakai baju steril. Jika harus berbaju zirahpun, aku mau demi melihatmu.
Dan, aku hampir pingsan melihatmu terbaring lemah dengan masker oksigen menutupi senyum manismu. Kacamata yang tidak kamu pakai membuatku tahu betapa lentik bulu matamu. Tapi itu setengah terpejam. Aku ingin berteriak keras supaya kamu terbangun penuh dan menegurku lagi dengan teguran lembut tegasmu.
Tanpa kusadari aku telah mengenggam tanganmu, dan kamu membuka kelopak matamu sedikit, lalu lesung pipit itu nampak di pipimu. Lalu pejam lagi.
Keributanpun seketika terjadi.
"Tekanan darahnya turun lagi, Dok!!" seru seorang perawat yang membuatku segera melepaskan genggamanku. Seorang dokter mendatangi tempat tidurmu, memeriksa mata, dan selang yang tersalir ke bawah tempat tidurmu.
"Perdarahannya masih berlangsung. Cari cadangan donor!" komandonya.
"Darahnya AB, dok, agak susah," jawab perawat di meja seberang yang sibuk mencari infus untuk dipasangkan di tiang pancang.
"Saya AB, ambil darah saya!" seruku spontan.

Satu bulan sejak itu. Satu bulan sejak darahku menyatu di pembuluh darahmu. Aku belum berani menjengukmu karena takut kalap. Padahal aku ingin memberitahumu, aku lolos sampai nasional, dan berangkat besok lusa ke Jakarta. Aku menyalurkan kekalapanku dengan belajar. Mengingat ceritamu. Mengingat ceriamu saat menceritakan dongeng tentang persamaan Kimia. Dan tidur dengan perasaan rindu yang baru kusadari akhir-akhir ini.

Budi menepuk pundakku bangga, setelah Kepala Dinas P dan K mengalungkan medali emas di leherku. Aku tersenyum datar. Ini bukan buat aku, kataku dalam hati. Tapi pengganti bunga yang ingin kubawa ke depanmu sambil mengungkapkan isi hatiku.

Di bandara Adisucipto, sebelum aku dan Budi berpisah, Ina menelponku dan mengatakan aku segera ke rumah Bu Sentani karena ada pemakaman di sana. Dengan kalut kupacu motorku yang kutitipkan di daerah Janti, menuju rumahmu. Budi lebih dahulu dengan taksi. Dan karena kalap, aku tidak melihat ada lubang besar di depan rumahmu, dan terpelanting keras terbanting berkali-kali. Badanku sakit semua. Rasa hangat di dahiku memberitahuku bahwa ada kulit robek di sana. Aku ingin bangkit tapi sulit, dan aku melihat wajahmu terpacak di depanku. Lho, bukannya kamu yang dimakamkan?
Aku tidak sempat bertanya karena bibrku sudah kelu. Aku hanya sempat mengangsurkan medali emas yang kugenggam dan sedikit robek tergesek aspal, dan membisikkan 'aku cinta padamu' dengan lemah.
****

Bulan ketiga tahun dua ribu delapan.
Ketika aku mengangsurkan seikat bunga di depanmu dan memintamu menjadi kekasihku, kamu terbelalak dan menutup bibirmu dengan tangan.
Tapi aku tidak mau menerima penolakan. Bukan karena aku kasihan padamu yang tinggal memiliki seorang ibu dan rendah diri karena tidak punya rahim lagi, tapi karena aku mencintaimu.
Karena itu aku merengkuh tubuh mungilmu ke dalam pelukanku saat upacara wisuda sarjanaku.

Kalian Mau Jadi Anakku?


Sejak aku dan ayahmu pacaran sekitar enam tahun lebih yang lalu, ayahmu selalu bilang bahwa betapa lucunya anak-anak kami nanti. Percakapan yang awalnya kupikir ’silly’ karena terlalu jauh, itu.. pikirku. tapi justru seiring waktu, itu jadi perekat kami. Membayangkan kalian sebagai buah cinta kami, membuat semua pertengkaran bisa mendingin karena ‘kami tetap ingin jadi orang tua kalian’.

Dan, ketika waktunya tiba, saat aku dan ayahmu sudah resmi menjadi suami istri di depan altar, kami lalu berdoa sebelum becinta untuk pertama kalinya, bahwa jika boleh, biarlah ini jadi awal yang indah untuk jadi awalnya kehidupan kalian. Aku dan ayahmu sangat saling mencintai, dan ungkapan cinta tertinggi ini bukan semata kenikmatan badaniah kami berdua semata. Tapi kami juga ingin segera membagikan luapan cinta kami yang membuncah ini bersama anak-anak. Kamu.

Dan ternyata, saat Tuhan campur tangan dalam segala keajaiban, hadirlah kamu. Saat itu kami memanggilmu ‘dedek’ saja, tanpa tahu ternyata kalian ada berdua di sana. Dan, setelah tahu kalian ada di sana…

Hati kami benar-benar luap dengan rasa bahagia. Bagaimana kami dapat menggambarkannya? Aku dan ayahmu tak punya cukup kosakata untuk itu. Sangat luarbiasa, ajaib, limpah syukur, debar-debar, bahagia.. ah, kalian itu adalah berkah terindah.

Sekarang, kalian sudah sebesar pisang ambon di perutku ini. Tendangan dan sikutan kalian mulai bisa terasa, dan itu menggairahkan ku dan ayahmu. Betapa dia selalu mengajak kalian bicara di udelku yang mulai dangkal, mengusek-usekkan kumis tipisnya di perutku yang mulai tegang, dan tiap kali pulang atau berangkat kerja, kalianlah yang diciumnya terlebih dahulu. Tidak, aku sama sekali tidak cemburu. Karena ciumannya mewakili ciumanku juga. Aku sulit sekali kalau mau mencium perutku sendiri, bukan?

Jadi, kuharap kalian mau jadi anak-anak ku dan ayahmu. Kami akan melimpahi kalian dengan cinta, cinta yang dewasa dan kadang galak, tanpa membedakan atau menyamakan kalian walau kalian dibesarkan bersamaan di perutku. Kami akan selalu membuat kalian nyaman menjadi seorang pribadi, tanpa memaksakan keinginan kami padamu, karena kami tahu kalian adalah makhluk yang punya takdir sendiri yang sementara dititipkan Tuhan untuk kami temani. Besok nanti, kalian akan terbang dengan gagah. Dan tugas kami adalah menguatkan sayap-sayap kalian. Kami punya tangan yang cukup untuk menangani popok-popok kalian, hati yang luas untuk mencintai kalian, tempat tidur yang hangat untuk kalian, dan panci yang besar untuk merebus sop untuk kalian. Jemuran kami luas untuk menampung semua baju kalian, rumah kami luas untuk lari-lari kalian, kami juga sudah beli kolam karet untuk kalian belajar berenang. Dan, kepala kami sudah penuh dengan kalian.

Jadi, mau kan jadi anak-anak kami?

Karena kami setengah mati merindukan kalian.

Minggu, November 02, 2008

Menikmati Tendangan

Oh, luar biasa tendangan mereka!!
Perutku yang teregang ini bisa merasakan kaki-kaki kecil mereka menekan-nekan dinding dalam rahim dan terasa sampai di luar. Aku selalu terpesona oleh sensasi rasa kedut yang mengejutkan, dan untuk sesaat aku tak punya kata untuk menggambarkan. hanya, terkadang lalu aku menjawil suamiku dan mengajaknya larut dalam sensasi ini. Dengan antusias dia akan mengelus perutku, mencari denyutan kecil itu, dan mengajak ngobrol si kecil dengan semangat, berharap si kecil akan menendang lagi.
Ah, Tuhan, ini pengalaman luar biasa yang tak tertukar dengan apapun. Terimakasih..

Mencintaimu, karena....(5)


Jadi, bagaimana perasaanku ke Julian?

Ah, kacau. Gara-gara percakapan tentang pengawas minum obat ARV kemarin, yang berbuntut aku berpikir 'bagaimana rasanya menjadi istri Odha -ralat- Julian', aku jadi salah tingkah sendiri. Dia hanya konsultan gratisku untuk program ini. yang berarti, setelah program selesai, hubungan kami selesai. Yang berarti, pembicaraan tidak penting di luar materi program berarti tidak profesional. Karena itu, kuputuskan untuk menjaga jarak lagi. Pertama, dengan memanggilnya 'Pak' lagi.

"Ada apa, Liv?" tanya Ju sedikit heran ketika aku menelponnya untuk rekomendasi pilihan keynote peaker untuk seminar HIV.
"Kok jadi Pak, manggilnya?" tanyanya geli. Aku mendesah tak sabar.
"Gak papa, jaga profesionalitas aja," jawabku ketus. Ju terdiam sejenak, agak kaget sepertinya.
"Memangnya, dengan kamu manggil aku Mas atau langsung nama, kita otomatis jadi nggak profesional?" dia membalik pernyataanku.
"Meminimalisasi rasa kurang profesional aja," jawabku sekenanya dan langsung pamit dengan ketus. Dan, seharian itu aku uring-uringan.
Di penghujung hari, aku sudah melukai hati semua rekan kantorku dengan perkataan kasar dan ketusku dengan alasan tidak jelas. Dan semua berpikir, saat itu aku sedang menstruasi. Bahkan, Agus menebakku sedang menjalani masa pre menopause. Sial..tapi terserah apa kata mereka!!

Yang penting, aku sedang kesal!!
Aku sedang gundah!!
Aku sedang mengingkari...
Mengingkari..
Mengingkari..

Apa, Liv?
Ketertarikanmu kepada Ju secara personal?

Nah, itu yang membuatku gundah. Sebenarnya aku tertarik pada Ju karena murni pribadinya atau karena status HIV nya -yang positif- yang malah membuatku semakin lekat?
Dia membalikkan ide dan bayanganku tentang profil seorang Odha yang tidak berdaya. Dia gambaran sosok Odha yang berdaya dan inspiratif. I'm captured. I get trapped. Oleh 'pesona' nya. Dan aku jadi gundah. rasa ini mau kubawa ke mana?

Beberapa hari aku tidak menghubungi Ju, dan dia menghubungiku lebih dahulu dalam seminggu ini. Lewat telepon.
"Ya, hallo," formal, karena yang terpampang di layar adalah nama asing. Aku tidak menyimpan nomer Ju -belum-, karena selama ini telpon kami dari kantor ke kantor.
"Liv," ujarnya singkat. Hatiku mencelos. Ju!
"Ya," balasku juga singkat, menutupi debaran hatiku.
"Gimana perkembangan progam untuk Hari AIDS mendatang?" aku terdiam sejenak.
"Baik, Pak," bertahan dalam profesionalisme tak jelas,"semua pembicara sudah dihubungi,"
"Untuk pembicara dari kepolisian tentang narkoba, sudah dapet?" tanyanya, seperti berusaha mengabaikan panggilan 'Pak' ku padanya.
"Hmm..sudah masuk sih suratnya, tapi konfirmasinya masih dua hari lagi,"
"Coba hubungi Pak Ritongga, Liv. Beliau Kasatserse untuk Narkoba. Aku kenal baik dengannya,"
"Okay, terimakasih, Pak," case closed. Kami sama-sama terdiam.
"Liv," akhirnya Ju bersuara.
"Ya, Pak?" jawabku.
"..aku kangen,"

Dan aku terpaku.

Selasa, April 08, 2008

Gilaaa...

"Waaaaaa....," aku terlonjak mendengar teriakan itu. Bergegas aku berlari masuk ke kamar Tyo, mencari apa gerangan yang membuatnya berteriak sedemikian keras. Di kamar, aku mendapati Tyo menutupi kepalanya dengan bantal, dan berteriak di dalam kapuknya. Kusentak bantal yang menutupi mukanya.
"Heh, dodol, ngapain sih kamu teriak gitu? Ngagetin orang, tau!" gerutuku. Bukan apa-apa, yang pertama aku kuatir adalah, lokasi kost Tyo ini bersebelahan dengan rumah pak RT. Dan tadi waktu aku memarkir mobil dan keluar menuju kamar Tyo, ada bu RT di depan rumah -sedang menyapu- dan aku bersapa dengannya. Itu berarti, orang sebelah kost tahu siapa yang di sini. Kalau tiba-tiba Tyo berteriak seperti itu, mereka pasti berpikir bahwa aku yang ngapa-ngapain Tyo. Pencemaran nama baik untukku.
"Waa..," teriakannya terputus setelah menyadari di mukanya tidak ada peredam lagi. Lalu dia nyengir lebar. Dengan sebal, kulemparkan bantal ke mukanya lalu beranjak menuju pintu, mau pulang.
"Eit eit...Shan, tunggu.. aku cuma becanda kok teriaknya..," Tyo bangkit dari tempat tidurnya dan menahan tanganku. Aku merengut.
"Becandanya gak tepat, tau. Lagi mikir nih," ujarku galak.
"Mikir? Mikirin aku kan? Kan? Kan?" paksanya kocak. Aku semakin merengut. Sebenarnya untuk menyembunyikan senyumku melihat tampang memelasnya.
"Iya jelas, mikirin gimana cara nolak kamu. Udah ngotot, maksa, idup, lagi,"
Tyo terkekeh.
"Shani sayang.. jadi pusing kan mikirin itu? Makanya nggak usah dipikirin deh.. Terima saja aku..," aku memutar badan, menghadapinya.
"Jangan bercanda lagi deh, Yo! Aku nggak mau kamu isengin lagi. Cape, tau!"
"Siapa yang bercanda?"
"Ya kamu! Buat apa bilang 'aku cinta kamu', 'mau jadi suamimu' seperti itu? Bukan candaan yang bagus, tau!"
"Siapa yang bercanda?"
"Ya kamu!"
"Kata siapa aku bercanda?"
"Kata....,"
Kalimat itu menggantung di udara antara wajahku dan wajahnya. Tyo menyeka mataku dengan sayang. Wah, tanpa sadar aku menangis. Mendapat sentuhan tangannya, tangisku malah menjadi. Sial..
Tyo menarik kepalaku ke dadanya. Sesaat aku memuaskan isakanku.
"Siapa yang bercanda, Shani? Kamu tahu, aku mengatakan itu lebih dari seratus kali untuk meyakinkanmu. Tapi kamu yang membentengi dirimu dengan berusaha mempercayai kebohongan yang kauciptakan sendiri bahwa omonganku itu canda. Padahal aku sudah meyakinkan berkali-kali kan?" ujarnya lembut.
"Harus dengan cara apalagi Shani?" aku semakin terisak.
"Ya..tapi..tapi.. masa kamu serius?" tanyaku terbata.
"Kenapa nggak?"
"Kok kenapa? Ya karena..karena..," aku menarik ingusku.
"..karena aku positif, mantan junkie..orang tua mana yang mau aku jadi menantunya? Cowok mana yang mau aku jadi istrinya?"
"..orangtuaku. Dan cowok itu, aku," sahutnya tegas. Huuuu..uuhh.. aku menangis makin keras.
"Hussh..sayang, kalau kamu nangis begini kok kayak cewek beneran ya?" goda Tyo sambil mengelus punggungku dengan sayang. Aku terpaksa tertawa. Ya, aku jarang sekali nangis. Bahkan dulu waktu didiagnosis HIV positif aku nggak menangis. Aku menangis karena ibu pingsan mendengarnya, lima tahun lalu.
Beberapa saat, isakanku mereda. Tyo mengambilkan segelas air.

"Kenapa kamu memilihku? Kamu cakep, negatif, insinyur, dan banyak cewek mau sama kamu. Kenapa aku?"
"Karena kamu cantik, positif, psikolog, banyak cowok mau sama kamu..," dia mengecup keningku.
"Karena kamu Shani. Shani yang luar biasa. Positif HIV dan positif banyak hal. Itu sudah cukup untuk membuatku jatuh cinta sejak pertama kali ketemu,"
"Tapi bersamaku kamu akan repot..untuk punya anak pun kita harus atur..," ujarku masih agak terbata.
"Buat apa aku ikut pelatihan HIV/AIDS kalau untuk itu pun aku harus keberatan? Dan anak bagiku nomer dua. Nomer satu adalah kamu, kamu, dan kamu," dia mendekati wajahku.
"Aku mau mendampingimu di sepanjang hidupku. Apapun risikonya. Kubeli satu truk kondom kalau perlu," aku tersenyum, dan Tyo mencium senyumku.
"Jadi..," godanya
"..apa jawabannya, Shani?"
Aku berpikir.
"Jawabannya...,"
"Kamu gilaaa, tau!!!" Tyo gantian merengut, lalu merengkuh pipiku.
"Jawab yang bener...," desisnya sok galak, dua sentimeter di depan mataku.
"Iya deh..mau..mau..aku mau nikah sama kamu, mau banget malah..," jawabku akhirnya.
Tyo bersorak, tertawa kegirangan dan menghujaniku dengan ciumannya.

Ah, untung aku menemukan satu orang gila di dunia ini... terimakasih Tuhan!

Jalan Batuan Kali

Aku menoleh untuk memastikannya berjalan mengikuti di belakangku.
"Kamu nggak apa-apa, honi?" kakinya berdarah sedikit, tapi aku tahu honi-ku tidak mau kupapah apalagi kugendong. Dia menggeleng sambil mematrikan senyum manisnya di sepanjang bibirnya.
"Nggak apa-apa, sebentar lagi sampai, kan?" dia menyeka keringat yang terbit di dahi putihnya. Kubelai dengan selembar tissue, dia memegang tanganku mesra, berterimakasih.
Kami melanjutkan perjalanan.

Di ujung jalan, setelah tigapuluh menit berjuang berpeluh dan nafas yang sedikit panjang pendek menemani kami, kamipun sampai.

Tempat ini masih sealami dulu. Honi-ku tidak berkata-kata, hanya memandangi semua hal di depannya dengan intens, menyesap rasanya, dan aku ikut merasakan kekagumannya.

"Sudah enam tahun, Mas, dan tempat ini tidak berubah," ujarnya penuh kekaguman. Bentangan rumput kapas setinggi pinggang menaungi tepian anak sungai perawan. Kercik airnya memenuhi rongga dada, telinga, dan kepalaku. Dingin, segar. Aku memeluk pinggangnya.

"Dan kenangan tempat inilah yang membuat kita selalu kembali kan, hon?" dia menyandar manja di dadaku. Mengangguk kecil dan meletakkan tangannya di lingkaran tanganku.
"Siapa sangka ujung panjang perjalanan kita akhirnya di altar juga, ya?" desahnya.
"Belum akhir, hon..altar kita itu baru gerbang awal. Perjalanan yang sebenarnya di mulai setelah kita sepakat di depan altar itu. Dan itulah perjuangan kita..,"
"Iya mas..," darah di kaki honi-ku sudah mengering, dan kubasuh dengan air segar sungai. Dia menatapku dengan sayang.

"Siap sesi pemotretan, honi?" aku mengangsurkan sisir dan bedaknya, menyiapkan tripod, dan mencari angle yang paling istimewa untuk foto prewedding kami.

Tempat ini adalah tempat ciuman pertama kami enam tahun yang lalu. Dan tempat rahasia saat kami bertengkar, bermesraan, menangis, bercanda.. hanya kami yang tahu rimbunan cantik ini. Enam tahun bukan waktu yang singkat, dan sebentar lagi kami akan menikah. Di tempat ini aku dan honi-ku akan mengabadikan perjalanan pembelajaran kami dalam bingkai buatan kami sendiri. Hanya kami berdua, sejak awal bahtera dan mengarunginya.

Aku tersenyum melihat honi-ku berdandan di bawah pohon. Sungguh aku mencintainya.

"Sudah siap mas, coba ke sini, ada briefing sedikit untuk pemotretan ini..," dia melambai supaya aku mendekat. Kuletakkan tripod, menenteng kamera mendekatinya.

"Apa?" dia mendekatkan bibirnya.

"Aku mencintaimu..," bisiknya selembut kupu-kupu, seringan angin..